Bersama KELUARGA MAHASISWA KLATEN UNIVERSITAS DIPONEGORO

dokumentasi pribadi dalam berbagai kesempatan kegiatan.

KMK UNDIP 2009

outbound keluarga mahasiswa klaten undip 2010, kmk angkatan 2009.

@ Gedung FISIP Undip

bersama rekan seperjuangan di S1 ilmu pemerintahan reg 1 angkatan 2009 fisip undip.fotoku malah ga kliatan ig

narsis mode on

berada di depan pusat pemerintahan kabupaten Klaten, smoga kelak aku bisa berkontribusi nyata untuk kota kelahiranku tercinta

DA 14

bersam temen seperjuangan di Dewan Ambalan SMANSA Klaten, miss u all

Kamis, 30 Oktober 2014

Jurnal

KAPASITAS KELEMBAGAAN DAN KEARIFAN LOKAL DALAM ANTISIPASI PENANGGULANGAN BENCANA MERAPI
TAHUN 2010  DI KABUPATEN KLATEN
(STUDI KASUS DI DESA BALERANTE KECAMATAN KEMALANG)
Galih Marendra (D2B 009 040)
Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Diponegoro


Abstract
This research was motivated by the frequent occurrence of natural disasters occurring in Indonesia, especially the eruption of a volcano disaster Merapi in Klaten region which occurred in 2010. Here, we can see readiness of Local Government to face merapi disaster, considering the Merapi disaster occurs every few years. How government can coordinate every institution that relating to disaster management, infrastructure readiness for evacuation of disaster victims until the budget allocated for disaster management. Experience from previous disasters and local wisdom can be a lesson in facing disasters that happened. The purpose of this research is to determine the institutional capacity and the potential of local wisdom in anticipation overcome of Merapi disaster in 2010 and the barriers that faced. Through people local wisdom to face disaster and good disaster management application from the government could minimize the impact of Mount Merapi eruption disaster, particularly in the district of Klaten.
Key word: Institutional, Local Wisdom, Disaster Management.

Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang rentan terhadap bencana. Bencana seolah sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, datangnya tiba-tiba tanpa bisa diketahui oleh siapapun. Bila kita pelajari, hampir di semua daerah di Indonesia rawan terjadi bencana, mulai dari tanah longsor, banjir, gempa bumi, gunung meletus hingga terjadinya bencana sosial
Pembukaan UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Dari penjelasan tersebut mempunyai makna, bahwa setiap warga negara berhak atas perlindungan dan hak-hak dasar, termasuk didalamnya perlindungan dan hak untuk bebas dari rasa takut, ancaman, resiko dan dampak bencana.
Kesiapan Pemerintah dalam menghadapi bencana dapat kita lihat disini, terlebih dengan adanya undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Kesiapan pemerintah dalam  mengkordinasi setiap lembaga yang berkaitan dengan penanggulangan bencana, kesiapan infrastuktur untuk tempat evakuasi korban bencana hingga anggaran yang dialokasikan pemda dalam APBN/APBD untuk penanggulangan bencana. Pengalaman dari bancana-bancana sebelumnya bisa menjadi suatu pelajaran dalam menghadapi bencana yang terjadi. Kearifan lokal dan pengalaman masyarakat dilokasi bencana yang sudah akrab dengan lingkungannya sehingga bisa mendeteksi bagaimana tanda-tanda akan terjadinya bencana menjadi sebuah pertimbangan  masyarakat dalam menyikapi bencana.
Kearifan lokal adalah nilai atau ajaran atau norma yang telah lama dianut oleh masyarakat dan ajaran tersebut ada di wilayah setempat (lokal) berkaitan dengan hal-hal yang sebenarnya memiliki muatan positif bagi masyarakat dalam kaitan dengan peristiwa alam.  Saat Gunung Merapi meletus, masyarakaat yang berada di sekitar gunung tersebut telah familiar dengan perubahan alam, misalnya perubahan perilaku binatang.
Musibah bencana erupsi gunung merapi pada oktober dan awal november tahun 2010 lalu mengakibatkan kerugian material maupun kerugian non material, ratusan orang meninggal dunia dan ratusan ribu orang harus tinggal di pengungsian. Wilayah bencana berada di Kabupaten Sleman provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, salah satu wilayah di Jawa Tengah yang terkena dampaknya adalah Kabupaten Klaten tepatnya Kecamatan Kemalang yang berada di tenggara lereng gunung merapi.
Tujuan penelitian berkaitan dengan hasil akhir yang ingin dicapai dalam penelitian, adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kapasitas kelembagaan dalam penanganan bencana erupsi Merapi tahun 2010 di Kabupaten Klaten. Serta mengetahui potensi kearifan lokal dalam antisipasi penanggulangan bencana Merapi tahun 2010 di Kabupaten Klaten.
Melalui kearifan lokal masyarakat dalam menghadapi bencana dan penerapan manajeman bencana yang baik dari pemerintah bisa meminimalisirkan akibat yang ditimbulkan dari bencana erupsi Gunung Merapi, khususnya di wilayah Kabupaten Klaten.
Teori dan Metodologi Penelitian
Teori yang dimuat dalam tulisan ni adalah teori tentang kelembagaan, kearifan lokal dan manajemen bencana.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua masyarakat desa Balerante dengan jumlah sampel 100 orang dengan metode random sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner, Observasi, wawancara dengan pihak terkait, dokumentasi serta studi pustaka.
Hasil penelitian ini berwujud teks dan tulisan yang ditemukan berdasarkan pengamatan secara langsung dan berdasar teori yang sudah digunakan. Dalam pengambilan data, peneliti menggunakan sumber data primer dan sekunder. Data primer yaitu sumber data  yang diperoleh dari sumber pertama. Sedangkan sumber data sekunder didapat dari sumber kedua atau secara tidak langsung melalui laporan-laporan, vidio dokumentasi, studi literatur lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

PEMBAHASAN
Desa Balerante merupakan salah satu desa di Kabupaten Klaten yang secara administratif berada di Provinsi Jawa Tengah. Desa ini terletak di lereng Gunung Merapi. Letak Desa Balerante  yang berada di ujung Kecamatan Kemalang yang langsung berbatasan dengan Kabupaten Sleman Provinsi DIY. Dusun Gondang dan dusun Balerante yang merupakan wilayah teratas hanya berjarak 4 KM dari Puncak Merapi, sedangkan kantor desa berjarak 8-9 KM dari Puncak Merapi. Desa Balerante merupakan salah satu desa di Klaten yang masuk Kawasan Resiko Bencana III (KRB III) Gunung Merapi.
Kehidupan sosial budaya masyarakat di desa Balerante masih kental dan menjunjung tinggi adat istiadat, nilai-nilai dan tradisi dari leluhur masih dilaksanakan, kehidupan gotong royong juga masih di junjung tinggi. Kehidupan ekonomi di Desa Balerante sebagian besar adalah petani dan peternak.Sebagian besar petani disini adalah petani penggarap. Bencana erupsi Merapi tahun 2010 lalu juga berdampak pada kehidupan perekonomian masyarakat desa, di mana pasca erupsi Gunung Merapi banyak warga yang beralih profesi menjadi penambang pasir.
Penanggulangan bencana merupakan serangkaian kegiatan dari sebelum bencana hingga pasca terjadinya bencana. Dasar Hukum penanggulangan bencana di Kabupaten Klaten sebelum adanya Badan Penanggulangan Bencana Daerah adalah SK Bupati Nomor 5 tahun 2006 tentang Satuan Pelaksana Penanggulangan  Bencana Kabupaten Klaten. Satlak Penanggulangan Bencana berada di bawah komando badan KESBANG POL DAN LINMAS dengan melibatkan orang-orang dari SKPD yang terkait. Satlak PB bergerak secara terpadu dalam penanganan bencana, bergerak dalam bidangnya masing-masing seperti dari dinas kesehatan untuk masalah yang berkaitan dengan kesehatan, dari dinas PU untuk masalah sarana prasarana maupun dari TNI/POLRI untuk masalah yang berkaitan dengan keamanan.
Informasi mengenai status Gunung Merapi diperoleh dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTKG). Informasi dari BPPTKG juga menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan tindakan evakuasi kepada masyarakat untuk segera mengungsi ke tempat yang  aman. Penyampaian informasi penanggulangan bencana kepada pihak-pikak tertentu menjadi kewenangan Bupati Klaten selaku Ketua Satlak PB Kabupaten Klaten. Selain itu masyarakat di lereng Gunung Merapi juga terbantu dengan adanya radio komunitas lingkar merapi yang turut membantu dalam menyajikan data dan informasi perkembaangan Gunung Merapi dan dinamika masyarakatnya.
Faktor kelembagaan meliputi 4 (empat) aspek pokok sebagai tolok ukur, yaitu struktur kelembagaan, fungsi kelembagaan, peran kelembagaan dan sistem informasi di dalam kelembagaan. Dari hasil penelitian melalui penyebaran kuisioner kepada masyarakat desa Balerante, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden setuju terhadap aspek kelembagaan dalam penanganan bencana erupsi Merapi tahun 2010, yaitu sebanyak 42 persen, dan bahkan terdapat sejumlah 23 persen responden lainnya menilai sangat setuju terhadap aspek kelembagaan dalam penanganan bencana erupsi Merapi 2010, sehingga tergolong sangat baik. Penilaian sebagian besar responden ini didasarkan adanya fakta yang memperlihatkan bahwa sistem informasi yang tersedia bagi penanganan bencana erupsi Merapi tergolong baik, terlebih didukung keberadaan peran kelembagaan, baik formal maupun informal yang tergolong baik pula. 
Tingginya apresiasi responden di atas disebabkan karena sebagian besar masyarakat beranggapan; 1) struktur kelembagaan penanggulangan bencana sudah terbentuk, sehingga memudahkan koordinasi dan komunikasi, 2) struktur kelembagaan tersebut melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat, sehingga bisa terjalin sinergi yang kondusif; 3) fungsi kelembagaan secara sadar diperuntukkan untuk penanggulangan erupsi Merapi, sehingga fokus terhadap penanggulangan bencana menjadi tinggi, 4) pemerintah mampu mengcover kerugian material dan immaterial yang dialami warga masyarakat, sehingga dapat meringankan beban masyarakat; 5) adanya sistem informasi yang terpercaya dan selalu update, sehingga masyarakat dapat memantau setiap waktu perkembangan aktivitas Merapi secara faktual. 
Faktor kearifan lokal meliputi 5 (lima) tolok ukur aspek, yaitu; keberadaan nilai sosial, norma adat, etika, sistem kepercayaan dan teknologi & peralatan sederhana. Dari dat yang diperoleh bisa disimpulkan bahwa sebagian besar responden memberikan penilaian yang baik terhadap kelima aspek kearifan lokal dalam penanganan bencana erupsi Merapi tahun 2010, di mana aspek etika dan sistem kepercayaan merupakan aspek yang paling menonjol. Dominannya etika dan sistem kepercayaan sebagai aspek yang paling menonjol dalam penanganan bencana erupsi Merapi tahun 2010 dikarenakan adanya pengalaman antropologis masyarakat sekitar lereng Merapi secara turun-temurun, sehingga secara konkret sifat dan karakter bunung Merapi dapat dipahami dengan menggunakan ilmu titen. Ilmu titen (Jawa) itu sendiri diyakini merupakan acuan dasar masyarakat sebelum mengenal perilaku gunung Merapi melalui pendekatan keilmuan. Masyarakat mampu membaca tanda-tanda atau simbol tertentu tentang apakah Merapi akan erupsi atau tidak, dapat didekati dengan membaca tanda-tanda alam semesta, termasuk di antaranya ialah dengan membaca perilaku hewan di sekitar lereng Merapi. Kearifan lokal semacam ini berlangsung dari generasi ke generasi dan dari tahun ke tahun, sehingga secara tidak sadar dijadikan nilai dasar oleh masyarakat dalam memahami gejala-gejala yang terjadi di gunung Merapi.
Ada salah satu hal yang unik menyangkut sistem kepercayaan yang berkembang di Balerante, bahwa ada mitos yang berkembang di masyarakat desa, bahwa desa mereka aman karena adanya Gunung Kendil yang dianggap sebagai tameng dari ancaman lahar dingin/awan panas. Gunung Kendil melindungi wilayah desa Balerante. Terlepas benar tidaknya sebuah mitos, warga masyarakat Balerante sangat meyakini bahwa hingga sekarang Balerante belum pernah diterjang awan panas ataupun “wedhus gembel” Merapi, sehingga fenomena ini membuat masyarakat semakin yakin bahwa gunung Kendil telah memberikan perlindungan pada penduduk Balerante.
Dari hasil penelitian melalaui penyebaran kuisioner dapat diketahui bahwa secara umum kearifan lokal yang berkembang di sekitar masyarakat Balerante dalam penanganan erupsi Merapi tahun 2010 tergolong sudah sangat kondusif, di mana mayoritas responden menyetujui seperti itu, yaitu 78 persen. Di sisi lain hanya sejumlah 1 persen responden yang tidak setujui kearifan lokal yang berkembang di sekitar lereng Merapi sebagai antisipasi bencana. Tingginya kondusivitas kearifan lokal tersebut dikarenakan masyarakat memiliki anggapan bahwa antara dirinya dengan gunung Merapi merupakan satu kesatuan makrokosmos, di mana satu sama lain saling terintegrasi, dalam arti musibah yang disebabkan oleh erupsi Merapi dinilai oleh masyarakat sekitar Merapi sebagai sebuah distribusi bencana, yang pada akhirnya diyakini akan berbuah pada kesuburan tanah di sekitar lereng Merapi. Di sini sebagian besar masyarakat melihat bahwa erupsi Merapi dianggap sebagai sebuah fenomena alam yang memang harus berlangsung, sebagai wujud keberkahan Sang Pencipta dalam rangka mendistribusikan kemakmuran kepada warga lereng Merapi. Masyarakat meyikapi Merapi sebagai bencana dan juga berkah, harus disikapi bagaimana menghadapi bencana itu Dengan pola semacam ini, berarti bencana tidak harus ditakuti akan tetapi harus dipahami. Mau tidak mau individu harus berdampingan dengan alam atau lingkungan secara selaras dan serasi. Hal ini harus dilakukan karena warga tinggal di wilayah rawan bencana yang secara alami memang demikian adanya.
Manajemen Bencana merupakan upaya sistematis dan komprehensif untuk menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat dan akurat untuk menekan korban dan kerugian yang ditimbulkannya. Mengelola bencana tidak bisa dilakukan hanya dengan cara dadakan atau insidental, tetapi harus dilakukan secara terencana dangan manajeman yang baik, jauh sebelum bencana terjadi melalui suatu proses yang disebut manajemen bencana. Berbicara mengenai bencana tidak hanya mengenai penanganan ketika terjadi bencana saja, melainkan bagaimana mengurangi dampak yang ditimbulkan dari bencana tersebut hingga penanganan setelah bencana tersebut terjadi
Mekanisme penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dilakuakn secara berjenjang mulai dari Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota dan Provinsi. Dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi 2010 lalu, pemerintah Kabupaten Klaten melalui Satlak PB telah melakukan rapat koordinasi sebagai landasan operasional, strategi dan pedoman dalam penanganan bencana pada saat tanggap darurat yang melibatkan para pemangku kepentingan, sehingga pelaksanaannya lebih jelas, terkoordinasi dan terpadu.
Faktor manajemen bencana meliputi 10 (sepuluh) tolok ukur aspek, yaitu; planing, organizing, actuating, controling, SDM, money, metode pra bencana, metode saat bencana, metode pasca bencana dan material/peralatan yang digunakan. Tingginya apresiasi responden terhadap tahapan planing dikarenakan, pada tahapan ini terdapat; 1) perencanaan penanggulangan bencana yang bertujuan meminimalisir dampak bencana; 2) pelibatan penanggulangan bencana yang melibatkan unsur masyarakat dan pemerintah, 3) perencanaan penaggulangan bencana melibatkan para ahli/akademisi, dan 4) adanya skala prioritas mengenai rencana induk penanggulangan bencana. Adanya tahapan penanggulangan bencana yang tersusun secara sistematis di atas, akan membuat masyarakat menjadi optimis untuk tidak terkena dampak negatif erupsi Merapi, yang dalam hal ini dikarenakan masyarakat sebagai sasaran program selalu dilibatkan dalam proses perencanaannya sejak awal. 
Secara umum dari penelitian yang telah dilakukan mendapatkan hasil bahwa responden sudah setuju dalam aspek manajemen bencana, yaitu sebanyak 62 persen, dan bahkan terdapat sejumlah 15 persen responden lainnya sangat setuju. Hal ini didasarkan adanya dukungan langsung dari aspek SDM yang terlatih, ketersediaan dana dan donatur dalam penanggulangan bencana erupsi Merapi, sehingga berkontribusi dalam membangun knowledge, sikap dan perilaku masyarakat selanjutnya dalam menyikapi perilaku dan gejala-gejala yang diperlihatkan oleh gunung Merapi.
Pasca bencana merapi terjadi, pemerintah juga terus berupaya untuk meningkatkan kesiapsiagaannya dalam menghadapi bencana merapi dikemudian hari. Program rehabilitasi dan rekonstruksi juga terus berjalan. Pemulihan kehidupan ekonomi warga juga terus dilakukan, seperti pendampingan dalam industri kecil, seperti batik merapi, pengembangan jamur, kerajian tangan, pemulihan ternak, bantuan pertanian/pemulihan lahan dan kehutanan. Dalam bidang pemulih fisik, pemerintah telah melakukan perbaikan jalur evakuasi,  pemuliahan sanitasi lingkungan, seperti jaringan listrik, tempat penampungan air, trauma hearing.
Dalam penanggulangan bencana banyak kendala yang dihadapi oleh petugas ,misalanya terkait dengan jalur evakuasi yang rusak parah. Rusaknya jalur evakuasi ini terjadi akibat jalur evakuasi tersebut dilewati truk-truk penagngkut pasir merapi dengan muatan yang melebihi tonase. Akibat dari rusaknya jalur evakuasi otomatis membuat proses evakuasi warga menjadi terhambat.
Langkah ke depan yang harus segera dilembagakan pada masyarakat sekitar lereng Merapi adalah dalam rangka untuk mempertahankan dampak positif Gunung Merapi dan menekan dampak negatif Gunung Merapi, maka penanggulangan bencana dengan pendekatan pengurangan risiko bencana harus dilakukan secara sistematis agar tercapai hasil yang maksimum, yang sudah barang tentu tetap kepada Sistem Nasional Penangulangan Bencana sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia.
PENUTUP
Dari hasil analisis data dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.       Kelembagaan dalam penanganan bencana erupsi Merapi tahun 2010 di Kabupaten Klaten tergolong baik, yang meliputi; struktur, fungsi, peran dan sistem informasi, yang kesemuanya tersedia dan memiliki jalur kewenangan sesuai dengan dasar hukum, yaitu Surat Keputusan Bupati Klaten Nomor 5 Tahun 2006 tentang Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Kabupaten Klaten.  Selain itu sebanyak 42 persen masyarakat setuju terhadap aspek kelambagaan dan 23 persen lainnya bahkan sangat setuju terhadap aspek kelambagaan yang ada.
2.       Aspek kearifan lokal dalam penelitian memiliki 5 indikator penilaian, yaitu nilai sosial, norma adat, etika, sistem kepercayaan dan peralatan & teknologi sederhana. secara umum bentuk dan jenis kearifan lokal yang hidup di masyarakat Balerante tergolong masih kondusif, di mana mayoritas responden  meyakininya bahwa; nilai sosial, norma adat, etika, sistem kepercayaan dan teknologi atau peralatan yang sederhana masih bisa dipertahankan di tengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini. Tingginya kondusivitas kearifan lokal tersebut dikarenakan masyarakat memiliki anggapan bahwa antara dirinya dengan gunung Merapi merupakan satu kesatuan makrokosmos, di mana satu sama lain saling terintegrasi, dalam arti musibah yang disebabkan oleh erupsi Merapi dinilai oleh masyarakat sekitar Merapi sebagai sebuah bencana dan berkah, yang pada akhirnya diyakini akan berbuah pada kesuburan tanah di sekitar lereng Merapi.
3.       Mayoritas responden menyatakan bahwa hambatan yang ditemui dalam penanggulangan dapat diselesaikan dengan baik. Hal ini dikarenakan adanya akumulasi pengetahuan warga yang semakin hari semakin tinggi tentang bencana dengan segala resikonya, maka kemampuan warga dalam mengatasi hambatan yang terjadi juga akan semakin baik, karena pada dasarnya manusia selalu belajar dari pengalaman masa lalu.
Dalam penanggulangan bencana banyak kendala yang dihadapi oleh petugas ,misalanya terkait dengan jalur evakuasi yang rusak parah. Rusaknya jalur evakuasi ini terjadi akibat jalur evakuasi tersebut dilewati truk-truk pengangkut pasir merapi dengan muatan yang melebihi tonase. Akibat dari rusaknya jalur evakuasi otomatis membuat proses evakuasi warga menjadi terhambat.

Saran
1.       Upaya penguatan terhadap kelembagaan dalam penanggulangan bencana erupsi Merapi dapat dilakukan, di mana salah satu caranya adalah:
a.        Penguatan koordinasi antara berbagai pihak instansi yang terkait dalam Penanggulangan Bencana di Kabupaten Klaten, sehingga mekanisme penanggulangan bencana yang berlangssung di lapangan dapat sesuai dengan apa yang diharapkan semua pihak, serta tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.
b.        Perlunya pelatihan dan peningkatan SDM petugas dan relawan di lapangan sehingga secara faktual mereka akan capable dalam operasinya dalam pelaksanaan penanggulangan bencana erupsi Merapi.
c.        Dibangunnya dan peningkatan jalur evakuasi alternatif evakuasi sehingga dapat diharapkan untuk meminimalisir jatuhnya korban erupsi secara lebih parah.
d.       Memasukkan pembelajaran kebencanaan dalam kurikulum pendidikan dari jenjang paling dasar agar pengetahuan kebencanaan tertanan sejak dini di dalam diri para pelajar.
2.       Penguatan terhadap kearifan lokal dapat terus dikembangkan, di mana salah satunya adalah dengan mensosialisasikan nilai-nilai sosial, norma adat, etika, sistem kepercayaan yang masih kondusif kepada segenap masyarakat, sehingga masyarakat secara pribadi akan memiliki kemampuan membaca tanda-tanda atau simbol-simbol gejala erupsi gunung Merapi secara lebih dini.
3.       Dalam rangka mengatasi kendala minimnya penganggaran penanggulangan bencana di Kabupaten Klaten, sehingga pemerintah daerah kesulitan ketika melakukan rekonstruksi, maka diperlukan kesadaran sosial yang lebih tinggi pada piha legislatif dan eksekutif dalam mengembangkan politik anggaran di APBD Kabupaten Klaten sehingga ke depan akan meningkat persentase untuk biaya penanggualangan bencana Merapi yang notabene dampak erupsinya dapat kita perkirakan.



DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bungin, M Burhan. (2010) . Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media grup.
Djarwanto dan Pangestu Subagyo. (1986). Statistik Non Parametrik. Yogyakarta: BPFE.
Haris, syamsudin (2005). Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah.Jakarta:LIPI Press
Kodaatie, Robert J dan Roestam Sjarief.(2006) Pengelolaan Bencana Terpadu, Jakarta: Yarsif Watampone.
Nurjanah, dkk. (2012).  Manajemen Bencana, Bandung: Alfabeta.
Pornomo, Hadi dan Ronny Sugiantoro. (2010). Manajemen Bencana Respon & Tindakan Terhadap Bencana. Yogyakarta: Media Presindo.
Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. (2009). Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gava Media.
Priambodo, S Arie. (2009). Panduan Praktis Menghadapi Bencana. Yogyakarta: Kanisius.
Ramli, Soehatman. (2010). Pedoman Praktis Manajemen Bencana. Jakarta: Dian Rakyat.
Saifuddin F.A.(2005).  Antropologi Kontemporer. Jakarta: Prenada Media.
Soekanto, Soerjono. (1982).  Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sugiyono. (2000). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV. Alfabeta.
Syihab, Usman dan Ella Yulaelawati. (2008). Mencerdasi Bencana. Jakarta: Grasisndo.
Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tenatang Penanggulangan Bencana.
Peraturan Daerah Kabupaten Klaten No 08 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Klaten
Surat Keputusan Bupati Klaten Nomor 5 Tahun 2006 tentang Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Kabupaten Klaten.
JURNAL
Ma’arif, Syamsul. (2010). Bencana dan penanggulangannya Tinjauan Aspek sosiologis dalam Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana. Vol 1 No. 1, 1-7.
Sunaryo dan L. Joshi. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor, Indonesia, 2003
E. Tiezzi, N. Marchettini, & M. Rossini. Extending the Environmental Wisdom beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community.
Dari Internet

Kelembagaan, Kearifan Lokal dan Manajemen Bencana

KAPASITAS KELEMBAGAAN DAN KEARIFAN LOKAL DALAM ANTISIPASI PENANGGULANGAN BENCANA MERAPI
TAHUN 2010  DI KABUPATEN KLATEN
(STUDI KASUS DI DESA BALERANTE KECAMATAN KEMALANG)
 

ABSTRAK

Penelitian ini di latarbelakangi oleh kejadian bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, Khususnya bencana Erupsi Gunung Merapi di Wilayah Kabupaten Klaten yang terjadi pada tahun 2010 lalu. Kesiapan Pemerintah Daerah dalam menghadapi bencana merapi bisa kita lihat di sini, mengingat bencana merapi terjadi setiap beberapa tahun sekali. Bagaimana pemerintah mengkordinasi setiap lembaga yang berkaitan dengan penanggulangan bencana, kesiapan infrastuktur untuk evakuasi korban bencana hingga anggaran yang dialokasikan untuk penanggulangan bencana. Pengalaman dari bencana-bencana sebelumnya serta kearifan lokal bisa menjadi suatu pelajaran dalam menghadapi bencana yang terjadi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kapasitas kelembagaan serta potensi kearifan lokal dalam antisipasi penanggulangan bencana merapi tahun 2010 serta hambatan yang dihadapi. Melalui kearifan lokal masyarakat dalam menghadapi bencana dan penerapan manajeman bencana yang baik dari pemerintah bisa meminimalisirkan akibat yang ditimbulkan dari bencana erupsi Gunung Merapi, khususnya di wilayah Kabupaten Klaten.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden menilai positif atas faktor kelembagaan dalam penanggulangan bencana erupsi Merapi Tahun 2010 yang lalu. Secara umum bentuk dan jenis kearifan lokal yang hidup di masyarakat Balerante tergolong masih kondusif, di mana mayoritas responden meyakininya bahwa; nilai sosial, norma adat, etika, sistem kepercayaan dan peralatan yang sederhana masih bisa dipertahankan di tengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini. Tingginya kondutivitas kearifan lokal tersebut dikarenakan masyarakat memiliki anggapan bahwa antara dirinya dengan gunung Merapi merupakan satu kesatuan makrokosmos, di mana satu sama lain saling terintegrasi, dalam arti musibah yang disebabkan oleh erupsi Merapi dinilai oleh masyarakat sekitar Merapi sebagai sebuah bencana dan berkah.

Key word : Kelembagaan, Kearifan Lokal, Manajemen Bencana

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More